MediaMuslim.Info – Dalam perang Uhud, ketika peperangan itu sudah mencapai puncaknya, dimana pihak musuh sudah berhasil mengepung ketat Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam dan menjadikan beliau sebagai sasaran tunggal anak panah dan senjata lainnya, Abu ‘Ubaidah dan beberapa orang rekannya menghunus pedangnya untuk melindungi Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam dari serangan ganas musuh sehingga darah mengucur dari wajah beliau dan beliau mengusahpnya dengan tangan kanannya seraya mengucapkan, “Bagaimana suatu kaum akan menang sedangkan mereka membiarkan nabi yang menuntunnya kepada Tuhannya lerluka wajahnya?”.
Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallâhu ‘anhu melukiskan peran yang dimainkan Abu ‘Ubaidah dalam perang Uhud itu, “pada waktu itu, Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam terkena dua kali bidikan anak panah pada tulang pipinya, lalu aku segera pergi menghampirinya. Ternyata dari sebelah timur ada orang lain yang mendahuluiku, menghampirinya dengan cepat pula. Aku berkata, “Ya Alloh, jadikanlah hal itu sebagai kepatuhan kepada Mu”. Sesudah itu, sampailah aku di dekat Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam. Aku melihat Abu ‘Ubaidah sudah sampai terlebih dahulu, lalu ia berkata, “Ya Abu Bakar, aku mohon kau membiarkan aku melepaskan panah itu dari wajah Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam!”. Aku membiarkan Abu ‘Ubaidah melepaskan mata anak panah itu dengan gigi depannya dan ia berhasil mencabutnya, tetapi ia terjatuh ke tanah dan giginya pun patah. Selanjutnya, ia mencabut mata anak panah yang kedua hingga gigi depannya yang satunya patah juga. Sejak itu, Abu ‘Ubaidah ompong gigi depannya.
Dalam perang Dzatus Salaasil, Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam menugaskannya memimpin pasukan para shahabatnya (diantaranya Abu Bakar dan Umar) sebagai bala bantuan untuk Amru bin Ash. Setibanya pasukan itu, Amru berkata kepadanya, “Ya Aba ‘Ubaidah, kau didatangkan sebagai bala bantuan untuk pasukanku”. Abu ‘Ubaidah menjawab, “Tidak.. Aku dengan pasukanku dan kamu dengan pasukanmu, masing-masing memimpin pasukannya”. Amru bin Ash menolak adanya banyak pemimpin, ia tetap menganggap pasukan Abu ‘Ubaidah yang baru datang itu harus ada di bawah pimpinannya sebagai bala bantuan. Abu ‘Ubaidah berkata, “Ya Amru, Rasulullloh ShallAllohu ‘alaihi wasallam melarangku, kalian berdua jangan berselisih!. Apabila engkau membangkang kepadaku, biarlah aku yang patuh kepadamu!”. Alangkah indahnya kata-kata dan sikapnya itu?”.
Demikianlah, Islam berhasil menciptakan manusia model, insan kamil yang diasuh Tuhannya, ruh dan kalbunya dimumikan dari sifat-sifat kebumian dan keremehan manusiawi. Alangkah jujurnya kata-kata itu dalam nilai kejantanan seseorang, “kalau kau membangkang kepadaku, biarlah aku yang patuh kepadamu”, pada saat kepentingan jamaah kaum muslimin dan agama Islam menuntut persatuan dan kekompakan.
Pada suatu waktu, datanglah perutusan dari Najran kepada Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam meminta supaya bersama mereka dikirimkan seorang agama, mengajarkan hukum-hukum syariat kepada mereka, dan merangkap sebagai penengah (hakim) apabila terjadi perselisihan antara mereka. Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam berjanji kepada mereka: “nanti malam, kalian datang kembali, aku akan mengirimkan bersama kalian seorang yang terpercaya”. Umar ibnul Kaththab bercerita tentang hal itu: “aku belum pernah ingin mendapatkan pangkat lebih dari itu pada waktu itu, mudah-mudahan akulah orang yang dimaksudkan Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam itu, Aku pergi menantikan waktu zhuhur. Sesudah Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam selesai sholat zhuhur, beliau menoleh ke kanan dan ke kiri seperti ada yang dicari. Aku menjulurkan kepalaku supaya beliau melihatku, tetapi beliau masih saja mencari hingga beliau melihat Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah, lalu beliau berseru: “kau pergi bersama mereka dan putuskan sengketa yang terjadi antara mereka dengan sebenar-benarnya”. Demikian keterangan yang jujur dari Umar ibnul Khaththab. Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Tiap-tiap umat memiliki orang kepercayaan dan kepercayaan umat ini adalah Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah”.
Tepat sekali sebda Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam itu, ibnul Jarrah adalah seorang kepercayaan dalam akhlaknya, tidak seorang muslimpun merasa dirugikan olehnya. Ia kepercayaan dalam agamanya, ia berusaha keras menggalakkan dakwah secara merata. Ia kepercayaan dalam memelihara batas-batas negara sehingga semua pihak menghargai kewibawaan dan kekuasaannya.
Bagaimana tidak demikian, dia adalah salah seorang dari sepuluh orang pertama yang masuk Islam dan salah seorang dari sepuluh orang yang dinyatakan akan mendapatkan surga. Sesudah Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam wafat, banyak orang yang datang hendak membaiat Abu ‘Ubaidah menjadi khalifah, tetapi ia menjawab: “apakah kalian datang kepadaku sedangkan di tengah-tengah umat ini masih ada orang yang ketiga”. Yang ia maksudkan adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, sesuai dengan apa yang disabdakan Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam kepada Abu Bakar di Gua Hira’, yang artinya: “Di waktu dia berkata kepada temannya, ‘janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Alloh beserta kita”. (QS: At-Taubah: 40). Continue reading ‘Jihad Ibnul Jarrah dan Keutaman Akhlaqnya’
Recent Comments